iklan banner

Ranieri, Dongeng Yang Nyaris Menjadi Kenyataan


Tak ada satupun yang memprediksi Ranieri bakal membawa Leicester City menapak sejauh ini di Premier League. Bahkan, pria tua itu sendiri hanya menargetkan 40 poin kepada anak asuhnya. Cukup agar The Foxes tak terdegradasi dan tetap bermain di Premier League musim depan.
Tapi, Ranieri telah menciptakan sebuah dongeng buat anak-anak Leicester. 'Si Rubah' yang baru dua musim terakhir bermain di liga Inggris telah menjejak di empat besar, Mereka mengantongi tiket Liga Champions musim depan di pekan ke-33 Premier League. 
Leicester sudah amat dekat dengan kans itu usai mengalahkan Sunderland dua gol tanpa balas. Hasil itu sampai membuat Ranieri meneteskan air mata di pipi. Berselang beberapa jam, kepastian aman di posisi keempat didapatkan The Foxes usai kekalahan Manchester United dari Tottenham Hotspur.
Bek Leicester, Robert Huth, pun menyatakan suka citanya lewat cuitan di twitter. "Yes! Lolos ke Liga Champions! Lebih baik segera melatih Rabona-ku," demikian tulis Huth.
Laju Leicester memang tak disangka-sangka. Para pundit dan para pemain Leicester sendiri, bahkan Ranieri juga tak pernah menargetkan Si Rubah bisa berlari sejauh ini.
Saat Ranieri direkrut Leicester, bahkan ada yang menilai kalau Ranieri hanya butuh memperbarui isi curriculum vitae miliknya. Biar makin panjang setelah pria 64 tahun itu menukangi 14 klub sebelumnya.
Ya, sebab dengan banyaknya tim yang sudah dipoles, dengan sebagian adalah tim elit Eropa, ternyata koleksi trofi Ranieri tak banyak-banyak amat. Yang lebih mudah diingat justru dia lebih banyak kehilangan momen juara sampai-sampai mendapat julukan Tuan Runner-up.Prestasi terbaik dia adalah meraih trofi-trofi turnamen seperti Coppa Italia, Super Coppa, Copa del Rey, UEFA Intertoto, dan UEFA Super Cup, bukan juara liga.
Apalagi kalau menilik racikan Ranieri di timnas Yunani. Mereka hanya meraih satu poin dari empat pertandingan yang dilakoni. Puncak dari pekerjaan itu adalah ketika Yunani dikalahkan Kepulauan Faroe yang biasanya menjadi lumbung gol bagi lawan-lawannya. Ranieri pun dipecat. 
Setelah mendapatkan kursi di Leicester, Ranieri juga tak menargetkan hasil muluk kepada anak asuhnya. Dia selalu menyebut agar Jamie Vardy dkk. mengamankan 40 poin. Setelah tercapai, Ranieri cuma bilang para pemain harus terus menjaga fokus. Termasuk saat ini setelah mereka mengantongi tiket Liga Champions. 
Tak pernah adanya beban buat para pemain itulah rupanya yang telah membuat Ranieri mampu mengendalikan para pemain Leicester yang bukan siapa-siapa di musim lalu menjadi pemain yang jadi pusat perhatian di Premier League musim ini.
"Menurut saya dia telah banyak berubah. Dia telah jauh-jauh lebih rileks. Saya tak pernah melihatnya sering-sering tertawa sebelumnya," kata Huth yang juga pernah menjadi anak didiknya saat Ranieri memoles Chelsea seperti dikutip Sky Sport.
Ranieri juga menunjukkan kepiawaian mendekati para pemainnya. Pesta kecil-kecilan di kedai pizza salah satunya. Atau panggilan-panggilan kesayangan buat para pemainnya. Misalnya, dia menyebut Drinky kepada Danny Drinkwater, Jimmy kepada Jamie Vardy, meskipun Vardy sudah punya nama panggilan khusus, ‘Vards’.
Perubahan tak cuma dirasakan oleh Huth. Jose Mourinho--terlepas rivalitasnya dulu--juga memberikan respek kepada pria Italia 64 tahun itu.
Mourinho yang pernah mengejek Ranieri sebagai pria tua yang sulit mengubah mentalitasnya kini malah memberikan respek yang luar biasa kepada Ranieri. Ranieri yang sudah hidup lima tahun di Inggris dan masih kesulitan mengucapkan selamat pagi dan siang telah memaksa Mourinho mengakui dirinya yang pernah diberi julukan The Special One bukanlah siapa-siapa.
"Saat Pangeran William mengatakan dia ingin Leicester menang (Premier League), saya bukanlah siapa-siapa untuk mengatakan sesuatu. Saya pikir karier dia (Ranieri) layak untuk itu (gelar Premier League)," ucap Mourinho yang tengah dikabarkan bakal menjadi manajer Manchester United musim depan itu.
Pekerjaan Ranieri memang belum benar-benar selesai. Masih ada lima laga yang akan jadi penentu akhir kisah Leicester dan dirinya. Tapi dia sudah mampu membuktikan kalau dirinya bukan lagi seperti yang dulu. 
Dia bahkan menolak kalau polesannya di Leicester itu adalah perwujudan dendam atas hasil kegagalannya di Chelsea 12 tahun lalu. Kala itu, di musim 2003/2004, Chelsea nyarus juara. Tapi di tikungan terakhir gelar melayang dan direbut Arsenal. Chelsea menjadi runner-updan Ranieri pada akhir episode itu harus kehilangan pekerjaan. 
"Tak ada balas dendam dalam kamus hidup saya. Saya adalah orang yang sangat beruntung. Saya melakukan pekerjaan yang saya inginkan dan tidak terlalu banyak orang yang bisa melakukannya."

Sumber : detik.com

Previous
Next Post »
Comments
iklan banner